Senin, 07 Juni 2010

Mukaddimah

0 komentar


Alhamdulillahi robbil 'alamin, puji syukur kehadlirat Allah swt, dengan segala kemurahannya yang memberikan berbagai ni'mat sehingga kita selaku manusia masih bisa meni'mati karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat, tabi'it, tabi'in dan para pengikutnya yang sampai sekarang masih menjalankan syari'at Islam.


Dalam blog ini penulis berusaha menjabarkan Kitab karangan Habib Utsman, yang berjudul "Manhaj al-Istiqoomah Fiddiin Bissalaamah", yang berarti Perjalanan yang benar didalam memegang teguh ajaran Islam, yaitu perjalanana yang suci dari pada segala kejahatan yang melanggar adat atau yang melanggar agama, dan selamat dari pada segala kesakitan dunia dan siksa akhirat, maka inilah perjalanan sekalian ulama dan awlia sholihin, dari zaman dahulu hingga zaman sekarang , mereka mengikuti ajaran Rosulullah Sholallahu 'alaiyhi wasallam dan para sahabatnya.


Sebab dibuatnya kitab ini bermula dari banyaknya pertanyaan masyarakat Indonesia (Betawi) tentang masalah agama Islam pada masa itu kepada Habib Utsman, kemudian Habib Utsman menuliskan semua masalah tersebut beserta solusinya didalam kitab "Manhaj al-Istiqomah Fiddin Bissalamah", adapun isi dari kitab tersebut dibagi menjadi tiga perkara :


Pertama: Wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk menyatakan kebenaran diperkara agama bagi yang suka menerima kenyataan, dibagi menjadi 5 perkara :


1. Menyatakan hal yang wajib dikerjakan diperkara agama

2. Menyatakan bahwa kewajiban ini menunjuk pada orang Islam yang mengerjakan dosa, maka dengan lentera ini diharapkan merubah seseorang menjadi baik untuk dirinya maupun negara

3. Menyatakan segala keyakinan agama di atas segala kejahatan

4. Menyatakan bahwa pelaku kejahatan (pendosa) itu akan jatuh pada kesusahan - kesusahan dunia maupun akherat

5. Menyatakan bahwa agama Islam menentang kejahatan pada suatu negara.


Maka lima perkara di atas itulah yang terisi didalam kitab ini jikalau dimengerti baik-baik didalam setiap fashal-fashalnya. Adapun dalil-dalil kewajibannya yang menyatakan agama, maka inilah dari kitab Ihyaau 'uluumaddiin, bersabda Nabi Muhammad saw : "Maa aatallahu 'aaliman 'ilman illaa wa akhoda 'alayhi minal miitsaaqi maa akhoda 'ala annabiyyiina an yubayyinuu linnasi walaa yaktumuunahu", artinya tiada memberi oleh Allah ta'ala akan seorang ulama itu ilmu melainkan suatu perjanjian atas ulama itu seperti perjanjian-perjanjian kepada sekalian anbiya yaitu bahwa mereka itu wajib menyatakan ilmu pada orang-orang dan janganlah mereka itu menyembunyikannya.


Kedua: Karena niat menyampaikan ilmu kebajikan dan menyampaikan ni'mat peringatan kepada sekalian saudara islam.


Adapun yang disebut dengan niat menyampaikan ilmu kebajikan kepada umat Islam, inilah dalilnya dari kitab Ihyaau 'luumaddin, Nabi Muhammad saw bersabda : "Ni'mal 'athiyah wani'mal hadiyah kalimatu hikmah tasmi'uhaa fatathwii 'alyhaa tsumma tahmiluhaa ila akh laka muslim ta'lamuha iyaa haa ta'dilu 'ibadatu sunnah", artinya sebaik-baik pemberi dan pengantar ilmu ialah mendengarkan dengan seksama, mengamalkan kemudian menyampaikan kepada saudara muslim dan mengajarkannya, niscaya akan dilipatgandakan pahalanya seperti ahli ibadah yang melakukan ibadah setahun lamanya.


Adapun yang disebut menyampaikan ni'mat peringatan kepada saudara Islam maka inilah dalilnya, Nabi Muhammad saw bersabda : "Ayyumaa 'abduhu atatchu maw'idhotun fiidiinihi innamaa hiya ni'matun minallahi siiqot ilayhi fa inqobilahaa syakaro wakaana minal mu'miniin", artinya siapa hamba telah datang kepadanya suatu peringatan didalam urusan agama, maka itulah ni'mat dari Allah swt yang diberikan padanya, maka jika ia menerimanya hendaklah ia bersyukur kepada Allah swt, maka jadilah ia orang yang beriman.


Ketiga: Menyelamatkan mereka (muslimin) dari kejahatan dunia maupun akhirat

Adapun yang disebut dengan menyelamatkan muslimin dari segala kejahatan dunia maupun akherat yaitu orang-orang Islam yang menerima dengan ikhlas hati dan menunjukan pengetahuan agama Islam kepada saudaranya seperti yang dijelaskan didalam kitab ini (Manhaj al-Istiqoomah Fiddiin Bissalaamah) semuanya itu merupakan ni'mat dari Allah swt seperti yang telah ditetapkan dalam hadits, maka selamatlah ia dari segala kejahatan. Jika dimengerti baik-baik isi dari kitab ini maka dapat disimpulkan bahwa :

- Merupakan kewajiban bagi pengarang (Habib Utsman) untuk menyampaikan ilmu kebaikan dan ni'mat peringatan kepada muslimin bukan semata-mata untuk memerintah atau memaksa

- Menyelamatkan (memberi petunjuk) kepada muslimin dari segala kejahatan dunia maupun akherat bukan semata-mata melarang atau mencela sesuatu melainkan mengharapkan pembaca dan pengamal mendapatkan manfa'at dari isi kitab ini juga pada negara

- Orang yang membaca kitab ini diharapkan mendapatkan hidayah dari Allah swt


Mohon ma'af apabila ada kesalahan ataupun kekurangan dalam blog ini, baik itu penulisan, isi, ataupun pemahaman, jika anda menemukannya sudilah kiranya menuliskan komentarnya, terima kasih.

Sekilas Tentang Habib Utsman

0 komentar

Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya


Sang Mufti Batavia Pada Abad 19

Di Jakarta pada pertengahan abad 18 muncul seorang habib karismatik. Ia adalah Habib Utsman bin Yahya, yang pernah menjadi mufti Batavia di zaman Belanda,

Para habib, khususnya ulamanya, sejak ratusan tahun punya hubungan akrab dengan para ulama, kiai, santri, dan ustadz asli Betawi. Sejak datang dari Hadramaut pada abad ke-18, dan puncaknya pada akhir abad ke-19, mereka mendapat tempat yang baik di hati para ulama Betawi. Bahkan ada yang mengatakan, kehadiran mereka ibarat siraman darah segar bagi perkembangan Islam di tanah air.

Salah satu saksi bisu atas kehadiran para ulama habaib itu ialah Kampung Pekojan, tidak jauh dari China Town di Glodok, Jakarta Barat. Sampai 1950-an, mayoritas warga Pekojan terdiri dari keturunan Arab. Tapi belakangan, juga sampai saat ini, keturunan Arab di Pekojan menjadi minoritas, sebab sebagian besar hijrah ke kawasan selatan, seperti Tanah Abang, Jati Petamburan, Jatinegara, dan kini Condet.

Jejak-jejak peninggalan Islam masih bisa kita temukan di sana. Lihatlah misalnya Masjid An-Nawir (1760) yang lebih dikenal dengan Masjid Pekojan. Di belakang masjid terdapat makam pendirinya, Syarifah Fatmah. Pada akhir abad ke-19, masjid tersebut diperluas oleh Sayyid Abdullah bin Husein Alaydrus, tuan tanah yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Alaydrus, tempat ia dulu pernah bermukim.

Di masjid inilah, Habib Utsman bin Yahya, mufti Batavia, mengajar dan memberikan fatwa sebelum pindah ke Jati Petamburan. Ia memang dilahirkan di Pekojan. Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Yahya. Ia kemudian menjadi menantu seorang ulama Mesir yang juga bermukim di Pekojan, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Misri. Ia diangkat sebagai mufti setelah selama belasan tahun belajar ilmu agama di 22 negara. Sebagai pengarang kitab yang produktif, karyanya lebih dari 100 kitab, tebal maupun tipis.

Beberapa kitabnya ada yang dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat. Kitabnya yang populer antara lain Sifat Duapuluh dan Asyhadul Anam. Habib Ustman adalah guru Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Habib Kwitang), ulama besar yang 80 tahun silam mendirikan majelis taklim di kediamannya, yang kemudian sangat terkenal.

Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya lahir di Pekojan, Jakarta tepatnya pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 H (1822 M). Ayahnya bernama Habib Abdullah bin Agil bin Umar Bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Asy-Syaikhah Aminah binti Abdurrahman Al-Mishri. Pada usia tiga tahun, ketika ayahnya kembali ke Mekah, ia diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al-Misri, yang mengajarinya dasar-dasar ilmu agama, bahasa Arab dan ilmu falak.

Pada usia 18 tahun, setelah kakeknya meninggal, ia menunaikan ibadah haji dan berjumpa dengan ayah serta familinya. Disana, selama tujuh tahun, ia belajar agama kepada ayahandanya dan kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah.

Pada tahun 1848 M beliau kemudian meneruskan perjalanan beliau untuk menuntut ilmu. Berangkatlah beliau ke Hadramaut. Disana beliau menuntut ilmu kepada Habib Abdullah bin Husin Bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri, Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar.

Selepas dari menuntut ilmu di Hadramaut, keinginannya untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah pupus dan luntur. Habib Utsman kemudian meneruskan perjalanannya ke Mesir dan belajar di Kairo selama 8 bulan. Dari Kairo lalu meneruskan perjalanan ke Tunisia dan berguru kepada Asy-Syaikh Abdullah Basya. Dilanjutkan ke Aljazair dan berguru kepada Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Maghrabi. Ia juga melakukan perjalanan ke Istambul, Persia, dan Syria. Setelah itu kemudian kembali ke Hadramaut. Dalam perjalanannya ke beberapa negara tersebut, beliau banyak mendapatkan berbagai macam ilmu, seperti Fikih, Tasawuf, Tarikh, ilmu Falak, dan lain-lain.

Pada tahun 1862 H (1279 M), ia kembali ke Batavia (Jakarta) dan menetap disana. Di Batavia ini, ia diangkat menjadi mufti menggantikan Syeikh Abdul Ghani, mufti sebelumnya yang telah lanjut usia. Pada tahun 1899-1914 diangkat sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab di kantor Voor Inlandsche Zaken.

Sebagai seorang ulama yang mumpuni, ia sangat produktif mengarang banyak buku. Buku-buku yang ia karang sebagian besar tidaklah tebal, akan tetapi banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam masyarakat muslim tentang syariat Islam. Sebagai ulama, ia kenal sangat kritis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang berkembang di tengah masyarakat.

Ketika ia menyatakan sikapnya yang tidak setuju, ia selalu melampiaskannya lewat buku. Ia sangat produktif, karyanya puluhan. Pandangannya yang sangat tegas-keras dalam soal fikih mendorong Sayid Utsman terlibat dalam berbagai polemik dengan sesama ulama, bahkan dengan pemerintah Hindia Belanda.

Polemiknya yang paling keras, antara lain, dengan Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, juga dengan beberapa ulama Betawi. Salah satu hal yang ia polemikkan dengan Syeikh Ahmad Khatib ialah penentuan arah kiblat masjid di Palembang. Ia mengutip kitab Tahrir al-Aqwadillah karya Syeikh Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin sebagai jawaban atas penentuan arah kiblat.

Sebagian besar karya Sayid Utsman berbahasa Melayu dan Arab, baik berupa selebaran maupun brosur, rata-rata sekitar 20 halaman. Umumnya berisi jawaban atas berbagai persoalan umat pada saat itu. Pada 1873 ia menulis kitab Taudzibu al-Adillah ‘ala Syuruthi Syuhudi al-Ahillah. Buku ini membahas, dan memberikan jalan keluar, mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam Jakarta waktu itu mengenai hari pertama bulan Ramadhan.

Pada 1881 ia menulis kitab Al-Qawaninu as-Syari’ah li ahli al-Majalisi al-Hukmiyati wal ‘Iftiayati. Buku berbahasa Arab ini mempersoalkan menipisnya pengetahuan agama, khususnya ilmu fikih, di kalangan para penghulu saat itu. Buku itu laris, sehingga harus dicetak ulang dengan mesin litografi ukuran kecil milik Sayid Utsman sendiri. Dengan mesin cetak sederhana itulah ia menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran agama. Sikapnya yang tegas-keras memancing polemik dengan beberapa ulama yang lain.

Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu, beliau membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh. Sedangkan ulama akhirat adalah orang ikhlas, tawadhu, berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, hanya lillahi ta'ala dan ridha Allah semata-mata.

Ia menjadi guru yang alim dan telah berhasil mendidik banyak murid-murid di Batavia waktu itu. Tak sedikit diantara mereka di kemudian hari menjadi ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang, Jakarta.

Selain keras dalam hal agama, Sayid Utsman juga punya perhatian di bidang politik. Tapi sikapnya cukup kontroversial, terutama sikapnya mengenai jihad dan perang sabil, khususnya mengenai huru-hara melawan Belanda di Cilegon, Banten. Meski Sayid Usman punya alasan kuat dalam hujah-nya, banyak ulama yang mencibirnya sebagai antek penjajah. Apalagi sikapnya yang sangat menentang praktik-praktik mistik, sebagaimana ia tulis dalam kitab Manhaj al-Istiqamah.

Seorang pengamat Islam Indonesia, Karel Steenbrink menulis, “Pembaharuan Sayid Usman memang lebih terbatas dibanding pembaharuan yang dilakukan Syarekat Islam atau Muhamadiyah, sebab relevansi politik dan sosialnya sama sekali belum ada. Meski terbatas pada pembaharuan bidang ibadah, interpretasi fikih untuk urusan-urusan kecil dan beberapa peroalan akidah, Sayid Usman adalah seorang pembaharu.”

Di mata orientalis Belanda, Snouck Hourgronje, Sayid Utsman adalah ulama pembaharu. Bahkan ketika ia dihantam oleh para ulama gara-gara kedekatannya dengan kolonial Belanda, Snouck tetap membelanya. Tetapi hal itu justru meneguhkan sikap Sayid Usman untuk keluar dari gelanggang politik.

Dalam tulisannya di harian De Locomotif edisi 11 Juli 1890, Snouck menulis, ”Beberapa waktu lalu kami telah minta perhatian terhadap buah karya baru Sayid Utsman bin Abdillah al-Alawi dari Betawi yang tak kenal lelah, yaitu serangkaian pelajaran yang berguna yang ditujukannya buat orang-orang sebangsanya yang bermukim di sini; dan untuk tujuan tersebut ditempelkannya di berbagai mesjid Betawi. Pena dan mesin cetak litografi Sayid Utsman telah menghasilkan karya yang besar.”

Dalam suratnya tertanggal 14 Maret 1890, Snouck menulis mengenai sikap Sayid Utsman yang menentang keras keikut-sertaan kaum muslimin dalam praktik-praktik maksiat. Antara lain Snouck menulis, ”….beberapa peraturan tentang agama dan akhlak, yang pematuhannya dianjurkan oleh Sayid Utsman kepada kaum muslimin, antara lain keikut-sertaan mereka dalam musik, minuman, dan tari-tarian…”

Sementara dalam surat tertanggal 26 Maret 1891, orientalis Belanda itu menulis mengenai sikap Sayid Usman tentang jihad yang menurutnya ditafsirkan secara salah: ”Banyak orang ‘disesatkan’ oleh beberapa ajaran syariat tentang jihad, dan mereka menyangka bahwa seseorang dapat mempertanggung-jawabkan suatu tindakan di hadapan Allah jika orang tersebut sebagai muslim mengambil harta orang-orang kafir, Cina ataupun Belanda untuk dirinya sendiri…”

Sayid Utsman wafat pada 1331 H (1913 M), jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun di kemudian hari, saat ada penggusuran makam pihak keluarga berusaha memindahkan tanah kuburnya ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah selatan masjid Al-Abidin, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

 
footer